Now, now, it’s been a while since my last post. Let’s just try it with English this time.

Anyway, I wrote this entry regarding to the event I attend, as an editor of golf magazine, the Enjoy Jakarta World Junior Golf Championship. This is the biggest junior event in Indonesia. And this year we got around 144 young golfer from 10-17 (divided with 4 categories for boys and girls, from Boys/Girls A to Boys/Girls D), and they came from 18 countries.

At the third day, I met one of the parent, his name Jani Bin Samsudin of Malaysia. He was quite furious with their golf association and wrote his disappointment. It was all began with the letter from Malaysian Golf Association as follow.

 

RECOMMENDATION FOR PARTICIPATION IN THE ENJOY JAKARTA WORLD JUNIOR GOLF CHAMPIONSHIP 2012

Greetings from the Malaysian Golf Association!

It gives us great pleasure to introduce the following players to participate in the Enjoy Jakarta World Junior Golf Championship 2012 from 5-8 June 2012.

  1. Jordan Mobijohn
  2. Solomon Emillio
  3. Shariff Jani
  4. Rhaasrikanesh Kanavahi
  5. Kelie Kan Kah
  6. Celesete Aisen Lo
  7. Winnie Ng Yu Xuan

We would like to nominate Jordan Mobijohn, Solomon Emillio, Celeste Aisen Lo and Kellie Kan Kah to represent Malaysia in this event. We would appreciate that you extend the hospitality (Free local accomodation, transfer and exempted from paying entry fees and caddy fees) to these 4 players.

For the other 3 players (Shariff Jani, Rhaasrikanesh Kanavahi and Winnie Ng Yu Xuan), they will pay for their own expenses as required. Any assistance extended to them is greatly appreciated.

Thank you.

 

Your sincerely,
For Malaysian Golf Association

 

V. Ravindran
General Manager

 

The letter above was sent to the Chairman of this golf championship.

Saying that the kids got none of their rights (perhaps except for the transfer from the hotel and to the golf course), Jani Bin Samsudin wrote his disappointment as follow. (I tried to write it as he means it, but some of his handwriting is quite difficult to interpret, so this is the best I can do.)

 

Malaysian Golf Association Memalukan Negara

Pemain golf remaja 15 tahun negara terumbang-ambing di Indonesia apabila mereka diarahkan untuk meninggalkan hotel pada 7 Juni 2012. Kedua-dua pemain ini adalah di bawah Malaysian Golf Association (MGA) dan telah diberikan 4 helai baju yang berlambang bendera Malaysia, sebagai pemain Malaysia.

Perkara yang membingungkan kedua-dua pemain ini, oleh kerana mereka masih lagi di bawah umur, yang memerlukan penjagaan dan tambahan pula kejuaraan berlangsung di luar negara, sebagai contoh jika berlaku sebarang kemalangan dan masalah kesihatan pemain, di manakah mereka mengadu, oleh kerana tidak ada pegawai dan pengurus pasukan daripada MGA.

Persatuan Golf Malaysia MGA yang telah diberi mandat untuk membantu kementrian belia dan sultan membangunkan sultan golf negara serta diberi peruntukan  daripad kerajaan, tetapi malangnya peruntukan berkenaan tidak diguna pakai di masa yang memerlukan seperti di kejuaraan golf tangga dunia di Malaysia. Persatuan Golf Malaysa, MGA, sepatutnya membantu dan memberi sokongan kepada Indonesia oleh kerana Indonesia adalah negara jiran Malaysia yang telah diberi penghormatan mengadakan kejuaraan bertaraf dunia.

Persatuan Golf Malaysia MGA harus sadar dan buka mata. Semua pemain golf remaja yang telah mewakili negara bermula daripada dorongan ibu/bapa dan bukannya MGA. Apakah MGA malu semua perbelanjaan pemain masih lagi ditanggung ibu bapa, walaupun mereka mewakili negara dan kalaulah ini MGA mahukan, saya sabar sesiapa saja ahli jawaban keesa persatuan golf malaysia MGA berdebat secara terbuka.

Di dalam perkara ini saya juga menyentuh kejuaraan di Philipine yang telah disertai oleh Jordan dan Solomon dan diiring oleh anak Jusfair Chung sekarang pengiring itu tidak ada kerana mengena dengan MGA dan pemain.

Saya menekan kepada badan penegak rasuah untuk membuat persyaratan menyerah termasuk keluar masuk keuangan agar tidak ada rasa wasangka atau tidak kepuasan hati darimana pihak dan begitu juga kepada pendarama dari segi apa bantuan sana ada dari segi barangan atau wang ringgit.

Persatuan Golf Malaysia MGA sepatutnya banyak berterima kasih kepada ibu/bapa oleh kerana tanpa dorongan keluarga pemain remaja tidak dapat dilihat di padang golf setiap hari. Tetapi pada hari ini amat jelas dan ternyata pentabaran MGA tidak teratur antaranya, kenapa ada ujud persatuan golf raja wanita (malga), kenapa dan mengapa. Walaupun kami di seberang laut, tetapi kami senantiasa mengikuti perkembangan Persatuan Golf Malaysia semasa ke semasa. Secara kebetulan anak Jani Samsudin berada di Indonesia, turut serta di Kejuaraan Golf Remaja Dunia.

 

Jani Bin Samsudin
E-mail: janisamsudin (at) yahoo (dot) com
Mobile: 0105043012

 

Well, if you somehow came here and read this, I wish you can see how Mr. Jani concern about the problem he and the kids were facing. He said to me, “It’s okay, just put my name on it,” that he fully takes responsible of what he had said. But after all, I wish everything will turn to be a part of learning process for everybody, related to this issue.

Kak, kenapa bahasa Inggris sih?

Anak perempuan itu bertanya kepadaku. Aku sudah menduga kemungkinan pertanyaan begitu. Film yang tengah diputar, sama sekali tidak dilengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia.

”Itu cerita tentang kelahiran Yesus,” ujarku. ”Coba kamu lihat, tuh, ada bintangnya ’kan? Nah, lihat, itu para majusnya.”

”Iya, Kak!”

”Nah, sekarang, kamu lihat baik-baik karena nanti akan ada pertanyaan dari film itu.”

-oOo-

Read the rest of this entry »

Mula Harahap beserta cucu-cucunya

“Sudah tahu belum, Pak Mula meninggal?” begitu rekan di balik telepon memberi tahu. Tak kutanggapi informasinya secara serius. Tapi pelan-pelan, kutanya juga pada rekanku yang senior, “Pak Mula meninggal, apa betul?” Kontan sikapnya berubah. Ia segera memberi tahu, betapa ia merasa agak heran mengetahui ada beberapa temannya di Buku Wajah yang mengucapkan “selamat jalan” kepada Mula Harahap. Aku yang biasanya tak suka membuka Buku Wajah, terutama pada jam-jam kantor, segera saja membukanya. Penasaran dengan berita itu. Ketepatan pula aku baru “berteman” dengannya.

Dasar bandit! Begitu dibutuhkan, lama sekali halaman Buku Wajah itu terbuka. Dalam hati, Bandit satu ini mungkin balas dendam karena tak kuperhatikan selama di kantor. Tak mau menanti sampai seluruh halaman tampil sempurna, kuketik nama Mula Harahap di bagian “pencarian” itu, dan begitu tampil hasilnya, langsung kuklik. Sekali lagi butuh waktu lama. Dan begitu tampil sempurna, sudah tampak begitu banyak orang mengucapkan salam perpisahan maupun apresiasi kepada beliau. Aku masih tidak begitu yakin. Barulah belakangan kudengar, beliau kena serangan jantung.
Read the rest of this entry »

Suasana terminal 1 keberangkatan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. TEMPO/Aditia Noviansyah

Suasana terminal 1 keberangkatan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. TEMPO/Aditia Noviansyah

Semenjak meninggalkan rumah lebih dari setahun yang lampau, aku memang harus mengandalkan internet untuk mengikuti perkembangan. Radio? Tidak pernah menjadi pilihan. Sudah lebih lama lagi aku meninggalkannya. Koran? Tidak bisa tiap hari kubeli. Sementara internet, minimal Senin sampai Jumat bisa kuakses.

Sore tadi (06/09), mataku tertuju pada sebuah berita. Berita kriminal. Kalau berita kriminal biasa, tentu tak kusentuh. Namun, yang sekali ini, mau tak mau kusimak juga.

Kalau biasanya penghipnotisan maupun pembiusan dilakukan di Metro Mini (dan dengan demikian Kopaja), atau Mikrolet (dan dengan demikian, semua jenis kendaraan seukurannya), atau Taksi, kini hal tersebut terjadi di bis Damri Bandara. Terang saja berita ini membuatku gerah. Betapa tidak? Salah satu hiburanku selama di Jakarta adalah menikmati perjalanan dari Gambir menuju Bandara. Dan angkutan apa pula yang senantiasa membawaku selain daripada Damri?

Read the rest of this entry »

Aku tidak yakin dirimu masih mengingatku. Tidak masalah. Sebab diingat orang lain, pada satu sisi, tidak selalu menyenangkan. Sejujurnya, aku malah tidak melihat apa menyenangkannya diingat orang.

Yah, abaikan saja salamku, kalau kalimat di atas memang dapat dianggap salam. (Dalam analisis percakapan, sah saja kita menyebutnya sebagai “salam pembuka”, tergantung dari mana kita melihatnya.)

Sudah berapa lama sejak terakhir kita bertemu? Aku tidak tahu pasti. Apa setelah lulus SMP? Tidak juga. SMU? Aku tidak yakin. Waktu sepertinya mempermainkanku sedemikian rupa. Mungkin itu juga alasannya mengapa aku mulai tidak dapat membedakan antara Rabu dan Kamis, Kamis dan Rabu. Entahlah. Tapi cobalah menyebutkan bilangannya. Sepuluh? Lebih? Bisa jadi.
Read the rest of this entry »

Nona, … Nona, maaf, tapi ada yang ingin saya sampaikan kepada Anda …

Sudah berapa kali kami satu bis? Aku tidak begitu ingat. Semula aku memang tiada memperhatikan keberadaannya. Kukira beberapa kali aku memejamkan mata. Menikmati lengkingan gitar Hisashi dan lantunan vokal Teru. Atau ketika bis sudah agak penuh sehingga aku pun tidak dapat tempat duduk, dan aku berdiri memandang keluar bis sehingga tidak memperhatikan keberadaannya.

Aku cuma ingat bagaimana pertama kulihat ia. Ia tampak sebagai seorang yang serius. Garis wajahnya terlihat tegas, setidaknya bagiku, sehingga kesan kedewasaannya terpancar. Kacamatanya yang berbingkai hitam itu, tampak sangat pas menghias wajahnya. Rambut panjangnya yang lurus tergerai indah. Dan yang terutama, ia selalu mengenakan setelan yang tampak elegan di mataku.

Read the rest of this entry »

Pooty

Aku bermimpi lagi. Ada sebuah rumah. Tidak jelas di daerah mana, bagaimana rupanya, apa warna cat temboknya. Tapi aku ingat ada anjing peliharaan kami. Itu anjing pudel pertama kami. Namanya Pikky, anjing pudel betina.

Rumah itu punya halaman belakang yang cukup luas. Halaman berumput hijau. Di sana biasanya Pikky berlari bebas.

Aneh. Aku menyadari ini kebalikan dari kenyataan. Sebab faktanya rumah kami selama 20 tahun adalah sebuah ruko. Kami tinggal di lantai tiga. Tidak ada halaman. Hanya ada beranda samping. Dan Pikky hanya bisa berlari menembus kolong-kolong meja makan, lemari makanan, dan kursi-kursi. Namun, dalam mimpi itu, meski tidak kulihat, aku yakin Pikky berlari-lari bebas di sana.

Read the rest of this entry »

Kertas itu sudah sedari tadi ada di meja. Pena telah sedia pula di sampingnya. Ceri dan Abad Pertengahan. Hanya ada dua itu dalam benakku. Tapi apa yang sebetulnya mau kutulis, aku tidak merasa jelas.

Mataku terasa berat. Biarpun baru saja mandi, toh tetap tidak butuh waktu lama untuk membuatku merasa lelah. Padahal masih ada kertas untuk ditulis. Masih ada kotak mesti dibalut-balut. Aku benar-benar heran dengan tubuhku sendiri. Meski malam sebelumnya aku tidur tanpa sekalipun terjaga, tetap saja merasa mengantuk. Lelah.

Kurebahkan badanku sejenak. Kubayangkan Ceri dan Abad Pertengahan lagi. Sambil memutuskan, mana duluan yang mau kusampaikan.
Read the rest of this entry »

Dalam beberapa tulisanku sebelumnya, aku pernah bercerita kalau aku sangat mencintai hujan. Bukan karena aku dilahirkan dalam bulan-bulan Aquarius. Tapi ada kenikmatan tersendiri mencium aroma tanah yang bertemu air.

Ketika masih di Medan dulu, aku suka hujan. Meskipun sering kali hujan mendatangkan masalah. Karena kalau angin berhembus ke arah tertentu, entah kenapa rumahku kebocoran. Dan karena aku juga tidak ingin anjing-anjingku jadi basah, aku harus menyiapkan wadah untuk menampung. Belum lagi harus mengepel beranda.

Aku sudah lupa kapan hujan mendatangkan kegentaran buatku. Mungkin sudah lama sekali. Aku cuma ingat suatu waktu ketika masih sangat kecil. Saat itu hujan deras, deras sekali. Sampai rumah kami kebanjiran. Aku yang masih sangat kecil hanya bisa melihat genangan air di kamar. Tidak bisa membantu apa pun.

Malam ini, dalam pengasinganku, kurasakan badai mengamuk di luar sana. Hujan deras turun. Guruh berbalas-balasan di langit sana. Menghantarkan getaran-getarannya hingga ke lantai kamarku yang terbuat dari papan.

Read the rest of this entry »

Sekali lagi untuk kesekian kalinya, aku lunta-lantu di depan kantorku. Tak jelas hendak ke mana kuarahkan langkah kakiku. Ingin lekas tiba di rumah, tapi itu mustahil. Jarak yang jauh, jalan yang macet, bis yang sesak penuh, angkutan yang berjalan lelet. Semua itu selalu menghiasi.

Ada pula tempat bernaung lain. Tapi ke sana pun sama. Harus mengantri Transjakarta di halte yang sesak. Meski telah dihias kipas raksasa, tak jua memberi kelegaan. Lagi pula, naungan ini masih akan merepotkan temanku. Maka semakin lunta-lantulah aku.

Read the rest of this entry »

Goodreads

Blog Stats

  • 4,474 hits
April 2024
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Flickr Photos

Faith Writers

Visit us!

The%20NumbersQuantcast